MAKALAH
SELAMATAN
UNTUK MEMPERINGATI KEMATIAN MELALUI TRADISI MASYARAKAT JAWA DALAM KACAMATA
ISLAM NUSANTARA
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :Statistik Industri II
Dosen Pengampuh : Amin Syukron ST.,MT.
Di
susun oleh :
1. Siti
Asrifah Nur Fadillah
2. Satria
Praja
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
PROGRAM
STUDI TEKNIK INDUSTRI
UNUVERSITAS
NAHDLATUL ULAMA AL GHAZALI
CILACAP
2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim
Assalamualaikum
wr.wb
Segala puji bagi Alloh tuhan semesta alam yang telah
menciptakan langit dan bumi serta menjadi pemelihara, pemberi rezeki bagi
seluruh isinya dan hanya kepadanyalah tempat bergantung dan berserah diri.
Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada
baginda kita Muhammad saw yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju
yang penuh ilmu pengetahuan seperti seakarang ini.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan
makalah yang berjudul “selamatan
untuk memperingati kematian melalui tradisi masyarakat jawa dalam kacamata
islam nusantara”
sebagai
tugas mata kuliah Statistik Industri II Penulis menyadari dalam makalah ini
terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun.
Akhirnya penulis mengucapakan selamat membaca.
Wassalamualaikum wr.wb
Cilacap,
23 Mei 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................
KATA
PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR
ISI........................................................................................................
BAB
1 : PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................................
D. Hipotesa...............................................................................................
BAB II : TELAAH PUSTAKA...........................................................................
BAB
III : PEMBAHASAN.................................................................................
A. Sejarah Upacara
Tahlilan .....................................................................
B. Hukum Tahlilan ...................................................................................
C. Dalil Tentang
Tahlilan..........................................................................
D. Jamuan Makanan dalam
Acara Tahlilan...............................................
BAB
IV : PENUTUP...........................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Telah kita maklumi bersama bahwa acara selamatan atau lebih dikenal dengan
acara tahlilan merupakan upacara ritual (seremonial) yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya untuk memperingati hari kematian. Secara
bersama - sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat
sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir - dzikir, dan disertai doa
- doa tertentu untuk dikirimkan kepada simayit. Karena dari sekian materi
bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang - ulang (ratusan kali bahkan ada
yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung
setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40
dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari
kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat
lainnya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga
tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak
menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia
diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah
membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (wajib) untuk dikerjakan dan
sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di
kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran,
semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang
benar-benar beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Bukankah Allah SWT telah
berfirman (artinya):
“Maka jika kalian
berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik
akibatnya.” (An Nisaa’: 59).
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apakah
acara selamatan/tahlilan dilakukan oleh orang masyarakat jawa sebelum islam
datang ?
2.
Bagaimana prosesi selamatan sebelum
datangnya islam ?
3.
Bagaimana prosesi selamatan sesudah
datangnya islam ?
C. TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan latar
belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah
sebagai berikut :
- Untuk mengetahui selamatan/tahlilan yang dilakukan oleh masyarakat jawa sebelum islam datanng.
- Untuk mengetahui proses selamatan sebelum datangnya islam.
- Untuk mengetahui proses selamatan sesudah datangnya islam.
D. HIPOTESA
Ho = Sudah dilakukan
selamatan untuk memperingati kematian melalui tradisi masyarakat jawa
H1 = tidak dilakukan selamatan untuk
memperingati kematian melalui tradisi masyarakat jawa
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Negara kita
Indonesia ini adalah negara dengan jumlah populasi muslim terbanyak di dunia
dan negara kita ini juga terdapat beraneka macam tradisi masyarakat Islam yang
bisa kita jumpai di sekeliling kita. Kita tentu sering mendengar istilah
selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari , setahunan ( pendak pisan – jawa ), dua
tahunan ( pendak pindo – jawa ) dan 1000 harian.
Seperti kita
ketahui dari sejarah, sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu dan Buddha
sudah lebih dulu menjadi agama yang dianut oleh penduduk Nusantara. Beberapa
kerajaan Hindu yang paling menonjol di Nusantara adalah Mataram yang terkenal
karena membangun Candi Prambanan yang megah, diikuti oleh Kerajaan Kediri dan
Singgasari.
Hindu di
Indonesia mengalami puncak kejayaan pada abad ke-14, dan kerajaan Hindu-Budha
terbesar yang pernah ada dalam sejarah Indonesia. Tradisi – tradisi Hindu dari
masa lampau hingga kini masih sering kita jumpai di kalangan masyarakat muslim
Nusantara.
Selamatan
3,7,40,100,1000 harian orang meninggal terjadi saat salah seorang anggota
keluarga atau tetangga yang meninggal dunia, sering kita jumpai ritual
keagamaan yang disebut dengan selamatan atau kenduri kematian yang berupa
melakukan doa – doa, tahlilan, dan yasinan yang di lakukan pada hari ke 3, 7,
40, 100, dan 1000 setelah kematian. Setelah diteliti, ternyata amalan tersebut
tidak dapat di temukan di dalam kitab suci Al – Qur’an, Hadits (sunah Rasul)
maupun Ijma dari para Sahabat. Dan justru ditemukan di dalam kitab – kitab
agama Hindu.
Dalam
kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192
Agama Hindu meyakini bahwa roh dari leluhur atau yang sudah meninggal
harus di hormati, karena mereka meyakini bahwa roh tersebut bisa menjadi dewa
terdekat manusia. Selain itu, dalam agama Hindu juga mempercayai tentang adanya
Samsara (menitis/reinkarnasi).
Dalam
kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 berbunyi:
“termashurlah
selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, keempat puluh, keseratus
dan keseribu.”
Dalam
buku media Hindu yang berjudul : “ nilai – nilai Hindu dalam budaya Jawa,
serpihan yang tertinggal” karya dari : Ida Bedande Adi Suripto, ia
mengatakan : “upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa
hari ke 1, 7, 40, 100, dan 100 jelas adalah ajaran Hindu”.
Sedangkan penyembelihan kurban untuk orang mati pada hari (1,
7,40,....,1000) terdapat pada kitab Panca Yadnya hal. 26, Bagawatgita hal. 5
no. 39 yang berbunyi :
“Tuhan telah
menciptakan hewan untuk upacara korban, upacara korban telah diatur sedemikian
rupa untuk kebaikan dunia”.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Upacara Tahlilan
Acara ritual tahlilan bukan catatan sejarah dalam Islam, tidak dijumpai di
masa Rasulullah SAW, di masa para sahabatnya maupun para Tabi’in. Bahkan acara
tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam
Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan
mereka ataupun sesudah mereka.
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (selamatan) nenek
moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara
tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah
meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu
tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan
prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir - dzikir dan doa
- doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir - dzikir dan
doa - doa ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara
tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan
agama lain.
B. Hukum Tahlilan
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari
diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil
Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن
القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم
تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله
بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال
طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“Telah
berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang
kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah
menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam
Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M):
Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam
kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup
mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama
hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah
menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan
kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari
Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang
meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari.
Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan
(sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain
itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام
بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى
الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari
merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi
abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil
dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”
C. Dalil
Tentang Tahlilan
وان ليس للانسان الا ما سعى, وان سعيه سوف يرى
Dan bahwa manusia itu hanya
memperoleh apa yang diusahakannya (dikerjakannya) dan hasil usahanya nanti akan
dilihatnya (QS An Najm 39-40). Orang jawa mengistilahkan ayat ini dengan hukum
karma.
الميت فىالقبر كمثل من غرق فى
اليمّ ينتظر دعاء اهله
Orang mati dikubur itu seperti
orang yang tenggelam dilautan, yang menanti doa dari keluarganya.
قوام الدنيا باربع اشياء : علم
العلماء وعدل الامراء وسخاوة الاغنياء ودعاء الفقراء
Tegaknya dunia itu dengan 4
perkara : 1. dengan ilmunya ulama' 2. dengan adilnya umaro' 3. dengan
dermawannya orang-orang kaya 4. dengan doanya orang-orang fakir.
من لم يشكر على نعمائى ولم يصبر
على بلائىفليخرج من تحت سمائى فليطلب ربا سواى (الحديث القدسى)
Artinya : Barang siapa tidak
bersyukur atas ni’mat-Ku dan tidak sabar atas
cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku
(Hadits Qudsy).
D. Jamuan
Makanan dalam Acara Tahlilan
Dalam setiap acara tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada
orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya
diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah
sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang
meninggal dunia.
Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan
sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah
perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ عَمْرِو بْنِ
عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ
يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ
الطَّعَامِ. رواه أحمد
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian
saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab,
“Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad).
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ
لِيْ مَخْزَفًاُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا. رواه الترمذي
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai
Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya
jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki
itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu
bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang
dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan
haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan
kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut Sebagaimana pahala puasa
dan haji. (Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal 142).
Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan
penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan
dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ. رواه مسلم
Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang
beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah
tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia
berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR Muslim).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan
main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang
untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan
diperhatikan.
Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak
boleh memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi
sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan
ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas ridak dibenarkan. Dalam kondisi
seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.
Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan.
Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta)
atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat
diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga
yang telah meninggal dunia.
Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya
menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah
SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan
syara' maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka penulis
menyimpulkan bahwa prosesi 7hari 40hari dsb merupakan budaya nusantara sebelum
masuknya islam. Islam adalah agama kasih sayang dan penuh toleransi, mayoritas
penduduk nusantara sekarang adalah muslim, karena islam adalah agama kasih
sayang dan penuh toleransi yang tidak ingin menyakiti atau menyinggung perasaan
orang lain atau orang dulu, jadi prosesi budaya 7harian dsb yang berasal dari
tradisi agama Hindu di masukkan kedalam ajaran Islam untuk mengubah masyarakan
yang dulunya tidak beragama Islam sedikit – sedikit mau mengikuti ajaran Islam.
Acara tahlilan dalam Islam dibolehkan karena itu merupakan suatu doa untuk
mayat, dan hukum dalam penjamuan makanan itu juga dibolehkan karena untuk
menghormati tamu yang datang asalkan tidak berlebihan dalam penyuguhannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Khozin,
Muhammad Ma’ruf. 2013. Tahlil Bid’ah
Hasanah Berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Madura : Muara Progresif.
Fattah,
Munawir Abdul. 2006. Tradisi orang –
orang NU, Yogyakarta : Pustaka Pesantren.
Machfudh,
Masduqi. . Tanya
jawab Bahtsul Masail dan Materi Pengajian. PWNU. Jawa Timur.
http://mengkajidiri.blog.com/?p=123